
Terdapat makam keramat di Desa Plosowahyu tepatnya di Dusun Wahyu. Orang menyebutnya: makam Mbah Kaji Mujurono. Atau setahun belakangan ini diketahui memiliki nama lain Raden Suworno, seseorang yang dianggap memiliki sanad keturunan Majapahit.
Makam ini menjadi ikon penting, karena dari keberadaan tokoh yang dikeramatkan itulah jejak sejarah Desa Plosowahyu bisa mulai dilacak walaupun dengan tingkat kesulitan yang luar biasa.
Tidak diketahui persis kapan berdirinya Desa Plosowahyu. Tapi ada yang menyebutkan awalnya masyarakat Plosowahyu agamanya Budha Syiwa. Jika menggunakan teori ini, maka dapat disimpulkan:
(1) Mbah Kaji Mujurono adalah seorang pendatang yang kemudian mengislamkan penduduk Plosowahyu yang sudah ada sebelumnya.
(2) Berdasarkan sejarawan Pegeud dan De Graaf, Islamisasi Lamongan baru terjadi ketika Demak Sultan Trenggono menyerbu Lamongan, sebelum menaklukkan Surabaya dan sekitarnya.
Penaklukan Lamongan oleh Demak ini terjadi tahun 1541-1542 M. Sebelum era penyerbuan ini, Lamongan selatan Bengawan Solo beragama Budha Syiwa, afiliasi ke Sengguruh (Singosari) dan Kertosono (Kediri).
Menurut sejarawan Lamongan, Ustad Chambali disebutkan bahwa salah satu teman pendiri Lamongan (Rangga Hadi atau Tumenggung Surojoyo atau Mbah Lamong) bernama Raden Pangeran Haryo Kanjeng Jimat adalah kelahiran Plosowahyu -Babrik. Bisa diperkirakan tahun kelahiran Kanjeng Jimat sekitar 1527-an sesuai dengan tahun kelahiran Ronggo Hadi.
Jika 1527 tersebut Kanjeng Jimat lahi, maka tahun-tahun sebelumnya Desa Plosowahyu sudah ada. Artinya, era kurun waktu Mbah Kaji Mujurono di Plosowahyu lebih awal dibandingkan Kanjeng Jimat. Ini diperkuat dengan cerita tutur bahwa Mbah Kaji Mujurono merupakan Santri Sunan Giri I, sedangkan Kanjeng Jimat Santri Sunan Giri III.
Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan Mbah Kaji Mujurono menetap di Plosowahyu dengan babat alas membuka hutan jadi sebuah kampung yang di kemudian hari dikenal dengan nama Plosowahyu setelah mengalami kekalahan perang. "Ploso" merupakan jenis nama pohon, dan "Wahyu" bermakna mendapatkan wangsit/petunjuk. Hutan belantara yang dominan terdapat pohon Ploso tempat Mbah Kaji mendapatkan wahyu.
Belum diketahui pasti peperangan apa yang dimaksud dengan mengalami kekalahan tersebut.
Peran Plosowahyu Atas Berdirinya Kota Lamongan
Jika sejarah awal berdirinya Desa masih belum diketahui pasti, peran strategis Plosowahyu atas berdirinya Kota Lamongan justru tercatat dengan jelas dalam catatan ringkas "Sejarah Keris Mbah Jimat" dan "Tumenggung Surojoyo" karya Ustad Chambali, sejarawan Lamongan.
Disebutkan, ada tiga santri kesayangan Sunan Giri III yang memiliki peran penting di bidang politik dan agama (dakwah) di awal berdirinya Lamongan. Pertama, Rangga Hadi. Asalnya dari Menganti, Gresik. Ditugaskan dakwah di wilayah Gunung Kendeng, dekat dengan Gunung Ratu, Ngimbang. Mendiami Dusun Cancing, Ngimbang.
Dia menjadi Rangga Lamong II yang berpusat di Groyok (1556-1569) menggantikan Raden Abu Amin (Rangga Lamong I) yang berpusat di Kampung Rangge (1543-1556). Baru kemudian ditetapkan secara politik menjadi seorang Tumenggung Lamongan pada 26 Mei 1569 oleh Sunan Giri Prapen (Sunan Giri IV), dengan gelar Tumenggung Surojoyo sebagai pemimpin politik wilayah Lamongan. Memimpin hingga 1607. Surat Keputusan dari Giri Kedaton inilah yang kemudian dijadikan sebagai rujukan sebagai hari jadi Lamongan.
Kedua, Raden Goliah. Berasal dari Mantup. Berdakwah dan dimakamkan di Mantup.
Ketiga, Raden Pangeran Haryo Kanjeng Jimat. Kelahiran Babrik Plosowahyu. Tugas dakwahnya di wilayah Gunung Kendeng (Mantup) dan akhirnya dimakamkan di sebuah bukit di Mantup. Sempat menjadi Bupati Pacitan 1,5 tahun kemudian kembali ke Lamongan.
Kanjeng Jimat ini memiliki 2 buah keris pemberian Sunan Giri III. Keris itu sejenis ujung tombak buatan Surakarta luk 7 dengan motif korowelang (ular weling). Yang 1 ditinggal di Pacitan disebut keris "Kanjeng Jimat". Yang 1 dibawa ke Lamongan diberikan ke Rangga Hadi disebut keris "Embah Jimat" untuk manggala pengawal, sebagai piandel, memberikan aura kewibawaan Tumenggung Surojoyo dalam memimpin Lamongan.
Keris "Embah Jimat" milik Haryo Kanjeng Jimat inilah yang kemudian menjadi logo/lambang Lamongan. Uniknya, logo desa Plosowahyu setelah diamati ternyata juga terdapat sebilah keris di dalamnya. Melihat kesamaan tersebut dan catatan sejarah yang ditulis Ustad Chambali, maka analisa penulis mengatakan bahwa keris yang ada dalam logo Lamongan dan Plosowahyu memiliki makna dan kaitan yang sangat erat.
Ini adalah baru catatan awal tentang Desa Plosowahyu. Selama ini, generasi orang sepuh sudah tidak ada. Cerita bertutur yang biasanya dibacakan pada saat acara Sedekah Bumi, kami dapatkan dari Abah Suwarjak (76 tahun) berupa tulisan tangan 4 halaman, itupun minim informasi tentang tahun dan latar belakangnya dan berbeda dengan catatan sejarah dari Ustad Chambali.
Masih diperlukan penelitian, penggalian informasi lebih lanjut sehingga sejarah Desa Plosowahyu bisa tervalidasi dengan sendirinya.
Wallahu'alam bi as-showab.
*Penulis adalah Kepala Desa Plosowahyu
Dirangkai dari berbagai sumber.